12 Januari 2011, tepatnya hari Rabu malam abis Isya dirumah. 3 tahun yang lalu dimana hari itu gue enggak menyangka bakal terjadi hal sesuatu yang menimpa gue. Ketika itu gue abis main sama temen gue bernama Helmi dirumah gue, ngomongin project membuat baju kelas diakhir sekolah menengah pertama. Gue masih menduduki bangku kelas 3 SMP dan sudah berada disemester 6. Taukan, pasti kalau sudah disemester 6 ngapain aja. Salah satunya adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi UN khususnya, umumnya menghadapi UAS, dan ujian praktek akhir.
Setelah perbincangan gue selesai sama Helmi, adek gue yang
masih TK (kalau enggak salah, soalnya selisih 7 tahun) mengajak gue untuk
bermain bola. Bukan dilapangan tapi didalam rumah. Gue pun menurutinya, gue
juga suka main bola. Kita main bola didalam rumah hanya berdua, memang rumah
gue yang satunya lagi agak sedikit cukup untuk bermain bola berdua. Gawangnya
juga ada dua, satu tempat jemuran dan satunya pake batasan berupa tanda. Bolanya
bola plastik yang 5ribu (taukan?). Kitapun asik bermainnya, tetapi kita tidak
menghiraukan anggota keluarga yang berada dirumah, apakah risih atau enggak
karena efek menendang bola plastik dengan kencang itu pasti berisik jika
mengenai dinding rumah.
Sesekali, duakali Ibu gue memperingati kita dengan tidak bermain bola didalam rumah ketika lagi bermain. Kitapun terus dengan asiknya bermain bola pada malam itu. Sebelum-sebelumnya memang gue sama adek gue sering banget main bola didalam rumah dan sering juga Ibu memperingatinya agar segera berhenti jangan main didalam rumah karena berisik atau takut kena kaca (soalnya adek gue pernah enggak sengaja mecahin kaca lemari dengan bola haha). Mungkin bisa dibilang bandel kali ya, karena enggak mendengarkan ucapan orang tua.
Saat-saat dimana malam itu gue harus sabar dan menerimanya.
Ketika permainan bola bersama adek gue masih berlangsung didalam rumah, gue
enggak sengaja keselengkat sama kaki adek gue. Gue pun terjatuh dengan posisi yang
salah, menahan badan hanya dengan satu tangan
kanan pada saat posisi jatuh. Gue kaget, ternyata tangan kanan gue alhasil
patah. Panik dan merasakan kesakitan, gue pun langsung mendatangi kedua orang
tua gue sambil meringis kesakitan. Tau enggak, pada saat itu apa yang gue pikirkan ?. Gue berpikir bahwa tangan gue enggak bakal bisa sembuh lagi dan harus
dipotong (soalnya dalam posisi panik, jadi berpikir keman-kemana). Selain itu
gue berpikir, masa depan gue bakal hidup dengan satu tangan. Setelah gue,
memberi tau kedua orangtua gue. Langsung dikasih minyak (minyak pijit kali ya),
dan dibawa ke tukang urut. Kalau mau tau gue tuh nangis (aduh, postingan kali
ini kayaknya gue enggak bisa ketawa deh, paling diketawain sama pembacanya haha).
Sampainya gue ditempat urut, gue disuruh masuk kedalem. Ditanya-tanyainlah, kenapa? Kok bisa?. Iya bisalah. Haduuh ada-ada aja, orangmah patah tulang akibat tabrakan, loncat dari gedung, inimah main bola didalam rumah enggak ekstrem banget (bandel sih lo dibilanginnya). Sakit banget, ketika diurut, katanya mah baik-baik aja. Selesainya diurut, tangan gue diperban pake kayu sama kain kasa dan dibopong pake kain untuk sementara.
Sampainya gue ditempat urut, gue disuruh masuk kedalem. Ditanya-tanyainlah, kenapa? Kok bisa?. Iya bisalah. Haduuh ada-ada aja, orangmah patah tulang akibat tabrakan, loncat dari gedung, inimah main bola didalam rumah enggak ekstrem banget (bandel sih lo dibilanginnya). Sakit banget, ketika diurut, katanya mah baik-baik aja. Selesainya diurut, tangan gue diperban pake kayu sama kain kasa dan dibopong pake kain untuk sementara.
Saran dari tukang urutnya, dirontgen (sinar x) dulu
tangannya dirumah sakit besok untuk mengetahui keadaan tulangnya terjadi retak
atau patah (menurut gue pada saat itu patah, gue yang ngerasain).
Pulang dari tempat urut, gue langsung sms ketemen gue si
Helmi. “Mi kayaknya gue enggak bisa ngelanjutin project baju kelas nih, tangan
gue patah” , enggak lama Helmi pun bales malah ngebales “aaammiiiin” (hufftt),
emangsih dia orangnya humoris dikirainnya gue bercanda. Mungkin dia enggak
percaya, soalnya gue habis main sama dia malam itu. Gue bales lagi aja “beneran
mi, besok gue enggak sekolah dulu”, dia pun membalasnya lagi “kenapa lu dik?”
(keliatan panik nih haha). Waktu itu sudah malem sekitar jam 9nan, gue pun
disuruh tidur untuk esok hari berangkat menuju rumah sakit untuk rontgen tangan
gue. *bersambung*
Ceritanya berlanjut ya, dipostingan selanjutnya, maaf nih. Ditunggu ya :)
wah,apakah anda tidak merasa kesulitan,selama tangan kanan anda patah dalam mengeluarkan hasrat anda di kamar mandi?
BalasHapuskardusss.. -_- enggak ada pikiran kesana gue
BalasHapus